Boawae, mediaflores.net - Suku Nataia merupakan salah satu suku yang ada di Kabupaten Nagekeo, tepatnya di Desa Olaia. Suku ini juga merupakan salah satu suku yang masih memegang teguh kepercayaan terhadap nenek moyang atau yang dalam bahasa setempat disebut “Ine Ame Ebu Kajo”.
adat istiadat yang ada di dalam suku ini pun masih begitu kental terlebih di saat ritual adat berlangsung. Salah satu ritual adat yang masih di lestarikan hingga saat ini ialah, tinju adat atau biasa disebut “Etu” oleh masyarakat setempat.
Etu merupakan ritual tinju adat yang melibatkan seluruh masyarakat khususnya, kaum lelaki. Ritual tinju adat ini juga, merupakan salah satu kekayaan adat dan budaya yang menjadi tradisi serta kearifan lokal, masyarakat Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Peserta “Etu”, biasanya berupa kaum lelaki yang berasal dari dua kubu yang berbeda dan kebanyakan merupakan kaum muda yang sedang mencari jati diri. Upacara ini telah diwariskan secara turun-temurun dari Nenek Moyang dan masih dilestarikan oleh masyarakat adat Nataia hingga saat ini.
Keberlangsungan ritual Etu biasanya selalu diiringi dengan alat musik khas kabupaten Nagekeo (Gong dan Gendang) serta nyanyi nyanyian. Masing-masing petarung akan dikawal oleh (sike) atau orang yang mengontrol petarung dan (Seka) sebagai penengah apabila pertarungan berlangsung sengit. selain itu beberapa orang yang bertugas menjadi (Seka dan Sike) bukan sembarang orang, melainkan mereka yang telah memenuhi syarat yaitu, telah disunat sesuai dengan aturan adat yang berlaku di suku Nataia.
Tujuan upacara adat ini, bukan sekedar dijadikan sebagai tontonan atau hiburan semata yakni memiliki makna yang mendalam yaitu, mempererat persaudaraan atau kebersamaan, dengan sikap konsistensi, dan saling menghargai dengan harapan agar dapat membentuk karakter setiap orang. Ritual Etu biasanya dilakukan di dalam area (Nata Etu) atau tempat khusus yang disediakan untuk keberlangsungan ritual. Areanya sangat luas sehingga bisa memberikan ruang gerak yang bebas kepada kedua petarung serta beberapa pihak yang berada di dalam area Nata Etu.
Di sekeliling area Nata Etu akan di buat pagar pembatas untuk membatasi penonton terlebih khusus kaum wanita, karena di anggap Pamali jika kaum wanita memasuki area tinju dan akan terjadi hal-hal tak terduga di luar nalar manusia serta dapat membawa malapetaka bagi para petarung.
Para petarung tidak hanya berasal dari kampung yang mengadakan ritual Etu tetapi juga berasal dari daerah lain atau dari kampung yang berbeda. Selain itu kedua petarung harus memiliki usia dan kondisi fisik yang sama untuk mengimbangi pertarungan. Masing-masing petarung akan diberikan (Kepo) atau alat bertarung yang terbuat dari anyaman ijuk. Petarung hanya boleh memukul lawannya dengan tangan yang memakai Kepo tersebut sedangkan tangan satunya hanya digunakan untuk menangkis.
Tinju adat (Etu) di suku Nataia biasanya dilakukan setiap tanggal (10-13 Juli) . Upacara tinju berlangsung selama tiga hari berturut turut sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemuka adat. Hari pertama tinju diawali dengan atraksi tinju adat khusus anak-anak tanpa menggunakan Kepo atau semacam sarung tinju. Di hari berikutnya pagi sampai siang hari tinju untuk anak-anak sedangkan sore hingga menjelang malam tinju untuk orang dewasa (Etu Meze). Kemudian pada malam harinya di lakukan ritual tandak (Boka Loka) oleh seluruh masyarakat adat Nataia.
Satu hal unik dalam upacara ini adalah saat petarung mengalami cedera atau luka, dimana luka yang ada pada petarung akan diolesi (air liur) dari ketua adat suku Nataia. Ludah dari ketua suku ini di anggap ampuh dalam mempercepat proses penyembuhan. *
( Marsiana Delita Co’o)
Mahasiswa program studi Sastra Inggris
Posting Komentar