Ende, mediaflores.net - Suku Lio adalah suku bangsa tertua dan merupakan suku terbesar yang ada di Pulau Flores. Di dalam suku ini masih sangat sakral tradisi dan budaya warisan para leluhur. Dilansir dari tulisan wikipedia, masyarakat suku lio adalah masyarakat kecamatan wolowaru, kecamatan ndona, kecamatan ndona timur, kecamatan detusoko, kecamatan lio timur, kecamatan maurole, kecamatan detukeli, kecamatan ndori, kecamatan kelimutu, beberapa wilayah di kecamatan maukaro, kecamatan lepembusu kelisoke, kecamatan kotabaru, kecamata wolojita dan kecamatan wewaria. Populasi masyarakat Lio mendominasi hampir 85% wilayah kabupaten ende. Suku lio juga menempati bagian barat wilayah kabupaten sikka yakni kecamatan paga, kecamatan mego, kecamatan tanawawo, dan kecamatan magepanda.
Berbicara tentang masyarakat suku ende lio tentunya tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di suku ini. Begitu banyak kebudayaan yang masih sangat sakral yang dijaga dan dilestarikan oleh suku ini. Salah satu budaya turun temurun dari para leluhur suku ini adalah budaya yang dilakukan saat panen telah tiba. Di dalam upacara adat panen ini, sudah pasti ada Tarian Gawi yang dilakukan oleh masyarakat Ende-Lio. Tarian Gawi adalah tarian tradisional yang dilakukan secara massal oleh para penduduk. Tarian ini dikenal sebagai tarian ungkapan rasa syukur dari masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah diterima oleh masyarakat. Pertunjukan Tarian Gawi dilakukan dengan membentuk formasi seperti lingkaran dan saling berpegangan tangan. Setiap orang yang terlahir dan dibesarkan di Ende-Lio tentu tahu Tarian Gawi. Tarian Gawi biasanya ditampilkan di dalam upacara-upacara besar yang dilakukan di Ende-Lio, kadang juga ditampilkan di acara-acara budaya atau pesta lainnya sebagai tarian daerah wajib.
Mata pencarian sebagian besar masyarakat suku Ende-Lio adalah petani, makanya tidak heran kalau tradisi panen selalu dilakukan oleh masyarakat ini saat hendak memanen. Para petani masih berpatokan pada siklus putaran bulan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam dan untuk panen. Saat musin panen tiba, masyarakat belum langsung melakukan panen hasilnya tetapi menunggu perintah atau arahan dari para mosalaki (petua adat). Setelah ada perintah, maka masyarakat langsung memanen hasil bercocok tanam mereka. Ritual-ritual adat yang dilakukan saat sebelum atau setelah panen adalah seperti upacara adat Joka Ju, upacara pire atau po te’u. Upacara ritual ini dilakukan dengan diselingi Tarian Gawi, tarian khas masyarakat suku Ende-Lio. Tarian Gawi saat upacara Adat Panen biasanya dipimpin oleh seorang PeSodha (penyair) yang bukan orang sembarangan tetapi mereka punya talenta atau orang yang punya bakat sendiri untuk menjadi ata sodha (penyair).
Upacara Joka Ju memiliki pengertian yang sudah diturunkan dari puluhan generasi ke generasi. Kata Joka Ju berarti tolak roh jahat. Ritual ini dilaksanakan agar masyarakat setempat tidak “pelapani” (tidak berbuat jahat) dan menolak segala bentuk kesialan yang terjadi serta menghilangkan segala bentuk penyakit buruk. Sehari sebelum upacara tersebut dilaksanakan, masyarakat daerah tersebut harus menangkap ayam, babi, dan kambing yang berkeliaran dan para pemilik tidak boleh marah atau melarang. Dulunya masyarakat diwajibkan menangkap babi dan kambing lebih dari satu, namun dengan perkembangan jaman masyarakat yang semakin susah mengharuskan mereka mengambil babi dan kambing satu ekor, tetapi ayam boleh lebih dari satu ekor. Selain itu, ada mosalaki yang bertugas meminta beras dari rumah ke rumah.
Pada malam hari, masyarakat setempat melakukan upacara sesajean atau persembahan terhadap leluhur yakni berupa hasil tangkapan binatang yang dilakukan tadi sore. Sesajean tersebut diantar oleh para mosalaki yang dilakukan dengan berjalan kaki dari arah utara ke selatan atau dari gunung ke pantai. Dan saat upacara tersebut berlangsung. Masyarakat setempat harus membunyikan gong atau segala sesuatu yang bisa dibunyikan, hingga para mosalaki kembali ke rumah. Dan alunan bunyi gong berbunyi itulah tanda upacara adat Joka Ju telah mulai.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara malam sesajean kepada leluhur, masyarakat setempat menunggu hari besok untuk melaksanakan upacara Joka Ju. Prosesi Joka Ju inilah yang dianggap sakral karena selama empat hari berturut-turut masyarakat penduduk asli setempat atau para pendatang yang tinggal tidak boleh melakukan segala aktivitas, berkebun, menyalakan api di luar rumah, memetik tumbuhan yang sedang tumbuh, berkelahi, bahkan mengubur orang mati. Mereka hanya diperbolehkan untuk bersenang-senang. Jika ada msyarakat yang melanggar maka mereka akan mendapat hukuman. Hukuman yang digolongkan menjadi dua yakni hukuman besar dan hukuman kecil. Hukuman besar termasuk perkelahian dan melukai tanah atau apabila ada orang meninggal tidak boleh melakukan penggalian tanah. Hukuman atau denda yang diberikan pada masyarakat yang melanggar, yakni mereka harus memberikan satu ekor babi dengan berat dua orang pikul atau senila 2 juta rupiah. Sedangkan hukuman kecil berupa menyalakan api, berkebun, dan memetik tumbuhan, dendanya adalah memberikan moke, uang, dan beras.
Bagi saya, suku Ende-Lio merupakan suku yang sangat unik, karena suku ini memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dari suku-suku di Indonesia lainnya. Banyak sekali yang mengakui sikap solidaritas yang dimiliki oleh masyarakat suku Ende-Lio. Suku Ende-Lio memang dikenal memiliki sikap solidaritas yang tinggi dan juga ramah kepada siapapun, misalkan jika ada tamu-tamu dari luar pulau atau daerah lainnya yang datang berkunjung maka mereka akan menerima dan menyambut dengan sangat sopan. Jika dilihat dari mata pencarian suku ini adalah petani. Yang menjadi unik adalah masyakarat suku Ende-Lio jika bercocok tanam masih berpatokan dengan siklus putaran bulan, karena itu sudah menjadi tradisi dari para nenek moyang kita. Pada dasarnya, seluruh upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Ende-Lio memiliki banyak tujuan yatu untuk melindungi dan menjaga mosalaki (Tetua Adat) dan menjaga masyarakat, terhindar dari ancaman marabahaya dan juga bencana, serta menghindari tanaman dari serangan hama dan wabah penyakit.
Menurut saya, upaya untuk melestarikan budaya suku Ende-Lio dapat kita lakukan dengan cara membuka badan lembaga sosial dan budaya yang dapat merangkum seluruh aspek budaya Ende-Lio seperti aspirasi para seniman musik yang merupakan pencipta lagu, penyanyi, penata musik, ataupun penulis untuk membimbing dan melindungi kepentingan mereka dalam industrik musik nasional maupun global. Selain itu, juga dengan terus memperkenalkan budaya-budaya suku Ende-Lio keluar daerah, di dalam negeri maupun di luar negeri.//MF//
(Petrus Eduard Mathun Liwu)
Posting Komentar