Walhi NTT Minta Hentikan Proyek Geotermal dan Cabut SK ESDM dan Hormati Penolakan Pemimpin Umat Flores


Kupang,mediaflores.net- 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan menghentikan semua proyek Geothermal di NTT.


Selain itu, WALHI NTT juga meminta Kementerian ESDM untuk mencabut Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017. 

Hal ini disampaikan Gres Gracelia, Divisi Advokasi WALHI NTT usai menghadiri pertemuan bersama Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Republik Indonesia terkait Pengembangan Geothermal di Pulau Flores pada Senin, 28 April 2025 di Ruang Rapat Gubernur NTT, Gedung Sasando Lantai 1 Kantor Gubernur NTT Jl. Eltari Nomor 52 Kupang. 

Grace juga meminta pemerintah untuk menghormati sikap Pemimpin Umat di Flores yang secara jelas dan tegas melakukan penolakan atas kebijakan geothermal.

Dalam pertemuan yang dipimpin langsung oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ini, Grece mengungkapkan, penyusunan Rencana Umum Energi Daerah NTT (RUED NTT) dan implementasinya ke dalam RPJMD, Pemerintah Provinsi NTT mendorong keberlanjutan energi sesuai dengan kondisi energi yang ada di daerah, yakni pemanfaatan radiasi matahari, angin, air dan arus laut. 

“Sedangkan Pemerintah Pusat menghadirkan proyek geothermal.  Hal ini terkesan Pemerintah Pusat sengaja membenturkan masyarakat dengan Pemerintah Daerah,” ungkap Gres. 

Lanjutnya, sejak awal, penetapan Flores sebagai pulau panas bumi/pulau geothermal dalam 

Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, tidak melibatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya masyarakat Pulau Flores. 

Selain itu, ESDM juga menentukan 28 titik potensial pengembangan geothermal di NTT yaitu 21 titik di Pulau Flores-Lembata, 6 titik di Pulau Alor dan 1 titik di Kabupaten Kupang. 

Dalam penetapan titik potensial ini, Gres mengatakan, masyarakat tidak pernah dimintai izin untuk melakukan pemetaan dan sosialisasi soal akan adanya pengembangan geothermal. 

Secara geografis, NTT sebagai provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan berada di jalur ring of fire, harusnya menjadi acuan dalam membuat kebijakan. 

“Situasi ini tentu memberikan suatu alarm bagi pemerintah tentang bagaimana pentingnya melihat kondisi geografis ini sebagai acuan pengembangan proyek geothermal yang juga punya dampak ekologis yang besar terhadap lingkungan di NTT, khususnya Flores yang dialiri oleh jalur cincin api atau ring of fire,” ujar Grace. 

Selain itu, grace juga mengkritisi pemerintah pusat yang abai terhadap ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. 

“Fakta yang ditemukan WALHI, di setiap titik pengembangan geothermal, persoalan sosial, budaya ekologi dan ekonomi selalu menjadi hal utama dalam alasan penolakan warga,” kata Gres. 

Gras juga menilai, pemerintah pusat tidak tegas dalam memberikan sikap kepada perusahaan dalam hal ini perusahaan pengembang proyek yang memicu konflik horizontal di antara masyarakat. 

Kepada perusahaan pengembangan geothermal, Gres menekankan agar tidak abai terhadap persoalan sosial, ekologi, budaya dan ekonomi yang ada di masyarakat. 

Belajar dari Mataloko, dampak kerusakan lingkungan yang terjadi dengan adanya semburan lumpur panas seharusnya membuat perusahaan pengembangan geothermal melakukan transparansi sejak awal terkait dampak buruk dari geothermal. 

Kepada Gubernur NTT, Gres menegaskan, program Hilirisasi Non Tambang Gubernur yang menjadi program unggulan Gubernur saat ini hanya akan berhasil kalau lingkungan atau kondisi sosial ekologi kita dalam keadaan sehat. 

“Proyek geothermal ini berpotensi menggagalkan program hilirisasi non tambang tersebut. Mengapa ? Karena dampaknya sangat buruk terhadap kesehatan lingkungan. Merusak tanah, air, lingkungan sosial, budaya dan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi di masyarakat,” jelas Gres. 

Menurutnya, hal ini sudah terbukti di Mataloko, Ulumbu dan Sokoria. Ada penurunan hasil produksi kopi, cengkeh, vanili yang berlangsung dari tahun ke tahun. 

“Akibat kesalahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang lalu, Gubernur yang sekarang harus menanggung beban ekologis yang lebih besar dari kebijakan pusat,” katanya. 

Gres juga mengungkapkan, operasi PTLP Ulumbu yang menggunakan air dari Poco Leok. Hari ini masyarakat Poco Leok mengeluh adanya pengurangan debit air. 

Tidak hanya itu, masyarakat di Poco Leok juga mengeluhkan bagaimana hasil produktivitas pertanian seperti kopi, cengkeh dan vanili menurun secara drastis baik secara kualitas maupun kuantitas sejak PLTP Ulumbu beroperasi. 

Di sisi yang lain, jarak Poco Leok ke wilayah ulumbu dapat ditempuh sekitar 3-5 kilometer. Namun, sejak PLTP Ulumbu beroperasi, Warga Poco Leok secara keseluruhan di 14 Gendang baru teraliri listrik secara penuh di akhir 2024. 

Dalam temuan WALHI, PLN juga diduga melakukan manipulasi data soal jumlah masyarakat yang melakukan penolakan di wilayah pengembangan geothermal Poco Leok. 

Hal ini kemudian ditegaskan oleh Tadeus Sukardin, masyarakat adat Poco Leok yang juga hadir dalam pertemuan ini melalui zoom bersama JPIC SVD. Sukardin mengkritisi penjelasan PLN tentang jumlah warga yang setuju dengan pengembangan proyek geothermal ini.

Cabut SK ESDM

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan, sikap pemaksaan kehendak oleh kementerian ESDM dan PLN adalah mentalitas orde baru yang serba sentralisasi dan tidak menghormati mandat reformasi yakni desentralisasi. 

“Bayangkan saja, ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT. Selanjutnya mereka datang mengiming-imingi warga lokal dan mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan mereka yang sepihak tersebut,” kata Umbu Wulang. 

Umbu Wulang menambahkan, publik NTT terus melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pemerintah agar jangan sampai kerusakan ekologis semakin meluas akibat proyek proyek tersebut.

“Apalagi ini proyek Geothermal yang rakus lahan, rakus air. Padahal kita sendiri sedang mengalami tantangan dengan problem krisis air,“ tutupnya.//

Yuven Fernandez, Media Flores//

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

 


Smartwatchs