Boawae, mediaflores.net - Nagekeo merupakan salah satu kabupaten yang tepat berada di pusat Pulau Flores, yang mana memiliki begitu banyak tradisi yang tentunya dapat menarik perhatian banyak orang. Salah satu tradisi yang menjadi pusat perhatian banyak orang tersebut adalah tradisi etu (tinju adat) itu sendiri. Tradisi tinju adat merupakan bagian integral dalam rangkaian adat masyarakat Kabupaten Nagekeo dan Ngada yang sudah berlangsung sejak lama. Tradisi ini tentunya menjadi sebuah objek daya tarik bagi pariwisata di Kabupaten Nagekeo sendiri.
Tradisi etu dapat dilihat di 31 daerah yang ada di Kabupaten Nagekeo. Salah satu daerah tersebut adalah Kampung Adat Natameze, yang merupakan kampung saya sendiri. Tradisi etu ini biasanya dilakukan pada bulan Juni hingga Juli di setiap tahunnya. Tradisi ini tentunya sudah melekat erat dan sudah “mendarah daging” bagi kami masyarakat setempat. Menurut saya, tradisi etu ini merupakan bagian dari ritual adat yang wajib dilakukan di tempat tertentu, seperti di kisa nata (tengah kampung/alun-alun) dan juga dilaksanakan di dekat sa’o waja (rumah adat). Kedua tempat ini merupakan pusat dari aktivitas adat dan tradisi masyarakat Nagekeo, khususnya di Kampung Natameze.
Berbeda dengan tinju pada umumnya, tinju adat atau etu ini biasanya dilakukan hanya menggunakan satu tangan saja. Jika anda berpikir bahwa etu sama seperti tinju pada umumnya, maka anda akan terkejut melihat pemandangan yang berbeda. Para petarung sendiri hanya boleh menggunakan satu tangan yang mana dibalut dengan li’e woe (sarung tinju) untuk bertinju dan tangan yang satu untuk menangkis pukulan lawan.
Adapun fakta unik dari tradisi etu yang terjadi di Kampung Natameze, seperti bebas usia (bisa diikuti anak-anak, remaja, dan orang dewasa), tidak ada batasan waktu, ada tim khusus untuk mencari petarung (pai etu), bertarung menggunakan satu tangan dan tangan yang satu untuk menahan pukulan lawan, memiliki wasit (seka) lebih dari satu, serta memiliki pengendali atau pengontrol untuk masing-masing petarung (sike).
Selain beberapa hal yang sudah disebutkan di atas, tradisi etu juga sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat di Kampung Natameze pada zaman dahulu. Tentunya tradisi ini sudah mendarah daging dari generasi ke generasi dan masih dipertahankan hingga saat ini. Adapun cara yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam tradisi etu, seperti:
Pertama, tradisi etu merupakan sebuah atraksi yang memperingati hari menanam hingga panen hasil kebun. Atraksi tersebut dilakukan oleh masyarakat setempat melalui pertunjukkan seni musik gong gendang (laba go) dan juga dengan tarian ja’i. Selain pertunjukkan seni musik gong gendang, masyarakat juga menampilkan musik bambu sambil bernyanyi sahut-menyahut. Hal ini biasanya dilakukan sebelum pertarungan etu dimulai.
Kedua, “lawan menjadi kawan.” Pernyataan ini sangat berarti bagi saya, ketika saya mencoba bertanya kepada salah satu tokoh adat, Bapak Rofinus Nuwa. “Pertarungan etu ini bukan berarti bahwa kita saling bermusuhan, tetapi melalui pertarungan ini kita yang awalnya adalah lawan kelak akan menjadi kawan,” katanya. Tidak salah lagi, pernyataan tersebut menjadi kuat ketika saya menyaksikan secara langsung pertarungan tersebut. Ketika petarung masih berada dalam arena pertarungan, mereka berdua adalah musuh, tetapi setelah keduanya selesai bertarung mereka mulai saling berpelukan damai tanpa adanya pemusuhan.
Ketiga, petarung saling berpelukkan. Hal yang sangat menarik dalam atraksi etu ini adalah kedua petarung tersebut saling berdamai dan berpelukkan satu sama lain, serta melambaikan tangan mereka kepada penonton yang hadir. Hal ini tentunya melambangkan sikap atau simbol perdamaian, persatuan, serta persaudaraan. Selain itu juga, karena motif atau latar belakang penyelenggaraan tinju adat atau etu ini adalah murni bagian dari tradisi dan adat yang mana untuk mesmpersatukan masyarakat.//Adolfus Nate Azi//
Posting Komentar